PARFUM: TINDAKAN PIKIRAN PUITIS 

 

Pembuatan Parfum

 

 

 

 

 

 

        



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejak zaman kuno, orang Mesir telah tahu bahwa kayu dan damar tertentu berbau harum dan lembut bila dibakar. Toh, diperlukan waktu berabad-abad sebelum orang menemukan metode yang dapat mengubah bunga, buah, dan tanaman menjadi esens, absolut, dan resinoid. Produk-produk itu merupakan hasil keterampilan teknik tingkat tinggi, yang dicapai melalui eksperimentasi serta perbaikan alat dan perangkatnya secara terus-menerus. Banyak mesin yang berlainan yang harus diuji coba sebelum versi finalnya menjadi alat penyulingan modern.

Ada lima teknik untuk memproduksi parfum. Yang pertama, paling kuno, adalah maceration: penyatuan antara wewangian dan lemak melalui pemanasan. Sama dengan yang pertama, teknik kedua, enfleurage, berupaya menyatukan wewangian dan minyak- tapi dengan cara berbeda: penyerapan wewangian melalui lemak dan benzoin. Cara ini dapat menghasilkan parfum setara bunga sebelum sebelum metode distilasi dan ekstrasi banyak digunakan. Kedua teknik yang terakhir itu berbeda sepenuhnya dengan dua cara sebelumnya.

Pada teknik ketiga, distilasi, berbagai bahan wewangian dimasukkan ke mesin penyuling, lalu dicampur dengan air dan dipanaskan hingga mendidih. Melalui pipa berleher angsa, uapnya didinginkan dan menjadi cairan: air terletak dibagian bawah, sedangkan esensnya yang berupa minyak mengambang di bagian atas. Dari esens itu, biasanya kemudian dipisahkan. Namun, kadang-kadang air bercampur esens itu dijual dalam bentuknya yang murni.

Tidak semua bunga atau tanaman dapat didistilasi, misalnya mawar centifolia, narcissus, atau mimosa. Karena itu, para ahli mengembangkan teknik keempat: ekstrasi. Bahan-bahan parfum tidak dilumatkan, tapi dicampur dengan air dan diputar berulang-ulang hingga mengeluarkan pelarut. Pelarut ini kemudian dialirkan ke ruang hampa udara, dipanaskan, dijadikan, dijadikan uap dan seterusnya sama dengan dengna proses distilasi.

Ekspresi adalah teknik terakhir. Cara ini digunakan untuk mengekstrasi minyak citrus dari buah-buahan semacam jeruk orange, lemon, dan mandarin. Minyak alami dari buah-buahan ini terdapat dalam kelenjar kecil di bagian kulitnya. Dengan pengupasan dan pemerasan, minyak yang merupakan esens wewangian dan air itu dapat keluar. Prinsip yang sama diterapkan dalam pabrikasi parfum.

Produksi selanjutnya adalah maceration dan pencampuran konsentrat dengan alkhohol dalam tabung besar tak berkarat. Itu dilakukan selama beberapa waktu untuk memperoleh kualitas parfum yang optimal. Banyaknya alkohol yang digunakan bergantung pada tipe produk  yang akan dihasilkan. Bila ekstrak, biasanya konsentrat parfum yang dimasukkan adalah 15 – 20 %, eau de toilette 5 – 10 %, sedangkan proporsi dalam eau de parfum kira-kira separuh dari kedua ukuran tadi.

Di Prancis, alkohol yang digunakan biasanya disuling dari akar gula bit, yang setelah dimurnikan memiliki bau yang netral. Lamanya proses maceration bergantung pada tipe produk. Dari beberapa minggu hingga tiga bulan. Setelah substansinya terbentuk, depositnya lalu diambil melalui teknik solidifikasi pada suhu antara 0 dan minus 10 derajat Celcius. Solidifikasi diikuti oleh filtrasi (penyaringan) yang menghasilkan cairan parfum.

Parfum adalah hasil karya artis berbakat yang menggunakan kemampuan memori, ketajaman, dan keterampilan meramunya. Toh, para pakar yang secara populer disebut “hidung” (nose) itu mengunakan lebih dari sekedar indera penciumannya. Mereka banyak menggunakan memori (ingatan) untuk membedakan bahan alami dari bahan sintetis. Lalu, dengan bantuan imajinasi dan rasa seni tinggi, para pencipta parfum berusaha menciptakan wewangian baru. Bak kata salah seorang di antara mereka, Jean Patou, “Suatu parfum diilhami oleh penemuan bau baru dan orang baru.”

Untuk itu, para calong “hidung” (nose) memerlukan pendidikan khusus dan magang sebagai asisten pada peracik parfum senior. Bandingkan dengan masa lampau, ketika keahlian diturunkan turun-temurun dalam keluarga.

Ternyata, dalam industri parfum sekarang yang berkembang pesat, hanya ada tiga perusahaan yang memiliki “hidung” sendiri: Chanel, Guerlain, dan Jean Patou, Kebanyakan perusahaan harus menyewa konsultan.

Begitu suatu parfum selesai dibuat, perusahaan pembuat akan mengundang para “hidung” (nose) profesional untuk menilai keampuhan formula wewangian barunya. Dari 5 – 10 % konsultan yang diundang, hanya satu yang memenangi kontrak. Catat pula, diperlukan waktu bulanan hingga tahunan sebelum parfum yang direkomendasi oleh konsultan kontrakan dapat diluncurkan. Produk parfum memang hasil kerja tim, antara konsultan “hidung”, pembuat parfum, dan bagian pemasaran.

Mungkin banyak diantara pembaca yang pernah menggunakan atau mendengar kehebatan parfum Chanel No. 5. Hendaknya diketahui, penciptanya adalah Ernest Beaux, pria Prancis kelahiran Moskow yang dandy. Selain menghasilkan parfum paling terkenal ini, Beaux juga menciptakan Chanel No. 20 – 24, parfum No. 22, dan Cuir de Russie bagi perusahaan Chanel, serta Soir de Paris untuk perusahaan Bourjois.

Keahlian membuat parfum ternyata dapat diturunkan. Pierre-Francois Pascal Guerlain, pencipta parfum Jacky, misalnya, mewariskan bakatnya kepada cucunya, Jacques Guerlain. Sang cucu kemudian menghasilkan parfum-parfum paling inovatif masa kini, seperti Mitsouko, Shalimar, L’Heure Bleu, Vol de Nuit, dan Apres l’Ondee.

Francois Coty adalah pembuat parfum ternama lainnya. Di samping parfum L’Origan dan Emeraude, ciptaannya yang paling terkenal bernama Chypre. Yang satu ini sedemikian aslinya sehingga dijadikan “keluarga parfum” tersendiri.

Selain itu, ada Germain Celier, wanita pertama yang masuk jajaran elite peramu parfum. Dari tangannya lahir parfum Bandit dan Vent Vert, masing-masing untuk perancang busana Robert Piguet dan Piere Balmain; lalu Coer Joie, Madame untuk Balmain; dan Monsieur Balmain serta sejumlah parfum Elisabeth Arden bagi pasar AS.

Catat pula nama ternama lain: Andre Fraysee dan Jeanne Lanving, yang bekerja sama menghasilkan parfum My Sin dan Arpege. “Seperti cinta, parfum harus menawan seorang wanita dengan seketika, “ cetus Fraysee, yang juga menghasilkan Scandal, Rumeur, dan Ptetexte.

Apakah arti parfum bagi para peracik wewangian terkenal tadi? Seorang penulis yang juga peramu parfum terkemuka, Edward Roudnitska, mengatakan, “Parfum yang indah adalah wewangian yang menghasilkan ‘kejutan’: kejutan inderawi, yang dalam kesan petamanya menggetarkan semangat, diikuti oleh kejutan psikologis, yang bertahan lama hingga parfum mulai menampilkan wujudnya ... Parfum adalah tindakan pikiran yang puitis.”

Namun, itu saja tak cukup. Tak seorang pun, mungkin, akan tergerak membeli parfum yang bermerek Gajah Terbang atau yang dikemas dalam botol kecap. Citra bagi parfum mutlak perlu. Dan citra itu terkait erat dengan citra penciptanya atau perusahaan pembuatnya, aroma wewangiannya sendiri, dan selera konsumen.

Memberi nama parfum jelas tak gampang. Tidak mudah mencari nama yang tepat untuk menggambarkan wewangian. Guerlain memberikan nama yang panjang bagi produk-produknya, misalnya Voila Pourquoi J’Aimais Rosine (“Itulah Sebabnya Aku Mencintai Rosine”). Sebaliknya, Elsa Schiaparelli lebih suka yang singkat, cuma satu huruf: S. Dibutuhkan uraian panjang – itu pun belum pasti memuaskan – untuk menjelaskan mengapa produk pertama laris, sementara produk kedua kurang laku.

Nama yang megah, imajinatif, atau menyiratkan kemewahan mungkin dapat melancarkan penjualan. Tapi itu baru mungkin, belum jaminan. Ini tergambar dalam produk seperti Scarabee, Nuit de Chine, Ambre Antique, Rigalia, dan Reve sur le Nil. Namun, belakangan, justru nama-nama bersahaja bahkan cermat malah unggul di pasar. Ini dibuktikan dengan penamaan produk yang memakai nama produsen dan nomor produknya: Chanel No. 5, Givenchy III, Azzaro 9, Scherrer 2, Gucci No. 3, dan sebagainya. Nama yang netral juga ternyata laku: Toujour Moi, Nuit de Noel, Extrem, dan Reve d’Or.

Ada pula yang dinamai sesuai dengan spesialisasi produknya: Caleche, Equipage, dan Amazone. Bahkan, ada yang memakai nama kecil peramunya: Miss Dior Diorama, Diorisimo, Diorling, Diorella, dan Dioressence. Christian Dior malah menggunakan nama aneh seperti Opium dan Poison, yang ternyata laris. Ini mungkin berkaitan dengan mengglobalnya pasar, yang mendorong ke arah pemberian nama yang dapat diterima oleh masyarakat dunia.

Bentuk kemasan tak kalah menentukan: dari bentuk botol dan kotak penyimpanan hingga materi iklannya. Guna menjamin pemasaran, para produsen terkemuka tidak segan mengeluarkan biaya besar: merancang botol eksklusif dari bahan gelas istimewa, menyewa perancang terkemuka (jika perlu, menyewa Salvador Dali, pelukis surealis kondang, seperti yang dilakukan Schiaparreli, atau mengupah perancang busana Kenzo, seperti yang dilakukan Serge Mansau), hingga menggunakan artis terkenal sebagai model. Semuanya demi kelarisan produk mereka.

Home